Nilai Dalam Perspektif Pendidikan

                                                                                                            oleh: Ruhiman

Penulis adalah guru bahasa Indonesia di MTs Negeri 2 Bandung Barat

Bulan Juni telah terlewati. Saat ini juga satu tahun pelajaran dalam hitungan kalender pendidikan telah berlalu. Begitu setiap tahunnya usia pembelajaran dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah di negara kita.  

Pendidikan yang di dalam implementasinya terdapat peserta didik, guru, kurikulum dsb. merupakan sebuah sistem dengan sasaran dan target yang jelas. Tak cukup improvisasi dalam menjalankan prosesnya. Namun, harus melalui tahapan terencana yang komprehensif berdasarkan pada konvensi acuan untuk mencapai sebuah tujuan yang disebut kompetensi.

Kompetensi inilah dampak dari sebuah perlakuan dalam pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Kompeten, mampu, atau istilah lainnya sebagai hasil yang diperoleh dari sebuah perjalanan proses merupakan sebuah penyiapan mental, fisik, dan kecerdasan peserta didik.

Angka-angka serta sebutan kualitatif yang tertera pada laporan capaian belajar selama waktu tertentu, biasa disebut dengan 'nilai” sebuah kompetensi. Istilah yang lazim, seterusnya menjadi acuan dalam pemeringkatan prestasi setiap peserta didik.

Ada dua arti terkait 'nilai' yang diraih peserta didik dari hasil pembelajaran. Nilai yang pertama berarti angka kepandaian. Ukurannya adalah capaian kompetensi pengetahuan dan keterampilan. Yang kedua, nilai yang memiliki arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Yang terakhir ini terkait dengan kompetensi sikap (karakter) peserta didik. 

Pada tujuan sementara (output), nilai pada buku rapor bisa dikatakan sebagai indikator keberhasilan belajar. Pada tataran lebih luas (outcome) nilai itu akan tampak pada relevansinya dengan tuntutan kebutuhan setiap manusia, secara individu maupun kehidupan sosial (lokal, regional, dan global). 

Bila kita berbicara keberhasilan pendidikan pada tataran luas, mau tak mau akan bersinggungan dengan aspek-aspek lain yang menjadi standar penilainya: ekonomi, kesehatan, keamanan, budaya, dll. Oleh karena itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi pertaruhan bagaimana pendidikan mampu memberikan dampak bagi kehidupan yang lebih luas. 

Rutinitas yang dilakukan pada pembelajaran sejatinya memberikan pengalaman agar peserta didik memiliki beragam metode dalam menyelesaikan persoalan kehidupan. Pembelajaran yang berorientasi pada nilai-nilai kepandaian dan karakter diraih melalui diversifikasi proses. Hal ini yang tampaknya belum begitu maksimal dilakukan pada pembelajaran di sekolah/madrasah kita. Ini tantangan.

Mari kita selisik kurikulum pendidikan –dasar dan menengah khususnya– pada sistem pendidikan di negara kita. Secara teoretis ideal. Peserta didik akan mampu menjadi manusia 'masagi' bila kompetensi yang menjadi target dapat diraih secara optimal. Ranah yang disasar pada prosesnya sangat jelas. Memang begitu semestinya bahwa target tertinggilah yang menjadi visi pendidikan.

Kurikulum mesti selalu mencermati perubahan. Kurikulum mesti terbebas dari rigiditas kepentingan sesaat yang hanya berdampak bagi nilai-nilai kuantitatif saja. Hal itu sepatutnya dipahami betul oleh pemerintah, guru, dan para orang tua. Perolehan nilai-nilai kualitatif yang terdeskripsikan lewat peran serta dalam proses kemanusiaan yang berketuhanan dan berbudaya jauh lebih penting. 

Manusia dengan segala keunikannya menjadi bagian setiap perubahan kehidupan ini. Pelaku, penonton, produsen, konsumen, atau sebutan lainnya menjadi pembeda yang menentukan peran setiap manusia secara individu maupun sebuah bangsa. Nilai dalam arti kualitas manusia berperan dalam hal ini. Landasan itu semua adalah nilai-nilai yang semestinya diperoleh dari hasil belajar. 

Refleksi atas keteladanan yang menjadi dasar penanaman nilai-nilai keindonesiaan semestinya terus dilakukan. Bila ukurannya adalah nilai angka semata, dikhawatirkan memunculkan ambivalen terhadap proses pembelajaran. Senang bukan kepalang dengan raihan angka, tetapi miskin nilai spiritual dan sosial.  

Kebutuhan serta rasa tanggung jawab terhadap pendidikan oleh semua kalangan adalah investasi berharga bagi terpeliharanya nilai-nilai kemanusiaan. Ini mesti disadari. Nilai pertama yang harus diraih oleh peserta didik adalah nilai-nilai sikap yang didapat dari pendidikan keluarga. Sekolah/madrasah menjadi wahana bagi kelanjutan pengembangan nilai-nilai tersebut agar lebih berkembang pada ranah sosial yang lebih luas. 

Para orang tua pantas berbangga memasukkan anaknya ke sekolah/madrasah “favorit”. Ukuran sebutan itu terletak pada sistem yang dibangun lembaga pendidikan itu. Kompetensi lulusan yang menjadi ukuran daya tariknya menjadi sebuah parameter bagaimana mereka memiliki nilai jual bagi kehidupan yang lebih baik secara materiel dan imateriel. 

Nilai kuantitatif dan kualitatif mesti menjadi pertanggungjawaban atas kompetensi yang selayaknya dimiliki peserta didik. Sehingga, tak melulu soal kesuksesan individu duniawi, akan tetapi bagaimana mampu mewarnai kehidupan ini dengan nilai-nilai kemanusiaan atas dasar nilai-nilai ketuhanan. Inilah nilai yang semestinya diraih dari pendidikan.***