Hampir setahun Program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) telah digulirkan. Banyak hal yang didapati para pelaku pembelajaran sejak kebijakan untuk menekan penyebarluasan Covid-19 ini diberlakukan. Teknologi komunikasi menjadi media utama dalam menunjang pola belajar ini. Hikmahnya, ada loncatan pemahaman bagi guru, siswa, juga orang tua tentang dampak positif teknologi ini bagi kehidupan (pembelajaran).
Kehadiran guru masih sangat diperlukan bila kita cermati beberapa kendala yang dihadapi siswa dalam melakukan pola belajar ini. Artinya, peran guru masih sangat sentral sehingga para siswa merasa kesulitan dalam memahami setiap materi belajar. Mereka belum terbiasa dengan pola belajar mandiri yang menuntut proses berpikir lebih dibandingkan pembelajaran dengan pendampingan guru secara langsung.
Harus diakui, literasi peserta didik kita masih belum menggembirakan di tengah situasi yang justru diperlukan. Literasi sebagai sebuah kecakapan yang perlu terus dibina dan ditingkatkan untuk mengimbangi dinamika era digital kini. Sejauh ini, yang penulis cermati, pemahaman bahasa (Indonesia) peserta didik secara umum belum menggembirakan. Tak heran jika posisi kita beberapa tahun terakhir di bidang literasi, matematika, dan sains yang dikeluarkan PISA (Programme for International Student Asessment) selalu berada pada posisi sepuluh terbawah.
Permasalahan lainnya, penerapan metode pembelajaran searah (transfer of knowledge) oleh guru. Ceramah menjadi metode favorit yang dominan sehingga makin menguatkan sikap mental “menerima”. Alhasil, karakter positif yang mestinya terkonstruksi lewat pembelajaran terabaikan. Akibatnya, kreativitas peserta didik mandek. Maka sudah dapat diduga, saat PJJ diterapkan mereka kesulitan berinisiatif untuk secara mandiri mencari tahu dan memperdalam materi ajar dari berbagai sumber.
Kurikulum darurat yang diterapkan kini memberikan keleluasaan kepada madrasah/sekolah untuk memilih materi tertentu yang dirasa relevan dengan pola PJJ. Namun, hal tersebut tak berarti bahwa PJJ hanya untuk menggugurkan kewajiban semata bagi guru. Tujuan pembelajaran yang hendak dicapai guru tetap mesti berdasar pada pola yang terencana dan cocok dengan jenis media daring yang digunakan.
Mengubah perilaku pembelajar sebagaimana tujuan pembelajaran bukan hal mudah. Kondisi mental pembelajar agar senantiasa siap dan merasa nyaman dengan PJJ merupakan prasyarat penting yang justru menjadi kendala terbesar saat ini. Namun, seberapa jauh perencanaan dan persiapan yang dilakukan oleh guru dalam mengelola pembelajaran setidaknya akan mengurangi kendala itu.
Sebaik-baiknya manusia adalah yang cerdas mengelola masalah sehingga menjadi hikmah. Pernyataan tersebut tampaknya pas dengan situasi dan kondisi kini bagi seorang guru. Implikasinya dengan permasalahan PJJ yang makin terasa menjemukan bagi pembelajar, menjadi bahan telaah bagi para guru agar terus berikhtiar melalui diversifikasi metode pembelajaran dengan moda daring ini. Sulitkah? Pertanyaan itu jawabannya ada pada hati setiap guru. Masalahnya, bukan sulit atau tidak sulit melaksanakan hal itu. Namun, kesiapan guru mengelola pembelajaran yang sering kali jadi persoalan.
Dari sekian banyak metode pembelajaran yang telah dikemukakan para ahli, tak ada satu pun yang berkategori paling baik dan yang lainnya tidak baik. Namun, tak demikian adanya dengan guru. Guru, ada yang baik dan ada pula yang sebaliknya. Maknanya, gurulah yang mesti cerdas dalam menentukan model pembelajaran sesuai materi ajar yang hendak disampaikan.
Blended/Hybrid Learning. Model ini mulai berkembang sejak ditemukannya komputer. Secara sederhana, model ini didefinisikan sebagai kombinasi antara pembelajaran daring dan tatap muka. Dengan kata lain, pembelajaran berlangsung dengan mengintegrasikan pola tradisional (tatap muka) dan pemanfaatan teknologi. Pemanfaatan teknologi secara daring atau luring akan memungkinkan tersedianya sumber belajar yang beragam lewat berbagai jenis media yang tersedia. Hal ini sebagai penguatan dan pengembangan materi ajar yang dipelajari secara tatap muka. Proporsinya bergantung kepada kebutuhan dan materi ajar. Namun, bila merunut para pengguna model ini secara umum, proporsi untuk pembelajaran tatap muka lebih minim (30%) daripada pembelajaran daring
Relevansinya dengan kondisi sekarang tatkala pembelajaran tatap muka menjadi sesuatu yang “tabu”, model pembelajaran ini bisa menjadi sebuah solusi untuk mengurangi kebingungan pembelajar. Caranya, jumlah pembelajar secara tatap muka dibatasi. Mengapa tidak, jika tempat memungkinkan dan protokol kesehatan dijalankan.
Pendekatan eklektik. Pendekatan ini memuat gabungan berbagai teori dan pendekatan pembelajaran. Pendekatan yang lebih dikenal pada pembelajaran bahasa ini memandang bahwa setiap teori belajar akan melahirkan metode mengajar bagi guru dengan mempertimbangkan usia dan kemampuan peserta didik. Pada praktiknya, metode yang dipakai guru berdasar kepada bagaimana peserta didik tak hanya sekadar menerima transfer pengetahuan tetapi lebih lanjut mampu memanipulasi informasi, menyimpan, dan mempresentasikan ide yang telah diserapnya.
Pada konteks pembelajaran modern yang memberi ruang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk menggali dan mengembangkan potensi serta kreativitasnya (student centred learning), pendekatan eklektik ini menjadi basis bagi pola pembelajaran yang akan dilaksanakan. Misalnya, penerapan secara terpadu model pembelajaran pemecahan masalah dengan model pembelajaran berbasis proyek. Di sisi lain, memadukan teori belajar behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme. Saya yakin pada materi-materi tertentu, pendekatan ini pernah dilaksanakan guru pada kegiatan pembelajaran.
Diversifikasi metode dan teori belajar dapat pula dilakukan dengan pemilihan aplikasi pembelajaran. Peserta didik memungkinkan tetap aktif lewat tulisan, gambar, atau video, misalnya. Sehingga, tetap ada timbal balik yang menjadi ukuran pencapaian materi ajar serta untuk meminimalisasi pembelajaran yang selalu berpusat pada guru.
Pada masa pandemi kini, kreativitas guru benar-benar diuji. Dorongan untuk terus memahami dan memanfaatkan teknologi informatika semakin menguat seiring tuntutan profesi agar tetap ajeg dalam kondisi apa pun. Kondisi mental siswa, perhatian orang tua, ketersediaan gawai, kuota, merupakan faktor penting lainnya yang tak dapat dinihilkan. ***
Penulis:
Ruhiman, M.Pd.
Guru MTsN 2 Bandung Barat