Menulis pada dasarnya merupakan kegiatan merangkai simbol-simbol visual bermakna yang mengandung sebuah pesan. Bahasa sebagai media yang digunakan dalam menulis merupakan akumulasi kesadaran para penggunanya yang tertuang dalam sebuah konvensi. Menuangkan ide, pemikiran, atau hal lainnya secara tertulis berpatokan pada pola penulisan (kaidah) yang meliputi bentuk, tata bahasa, dan struktur. Galat dalam penulisan akan berpengaruh terhadap pesan/tujuan yang ingin disampaikan.
Ragam bahasa tulis yang digunakan dalam berkomunikasi jelas berbeda dengan bahasa lisan. Bahasa lisan lebih cenderung apa adanya menggambarkan kemampuan dan kebiasaan berbahasa si penutur. Karena itu, lebih sulit melakukan pengoreksian (pengeditan) saat digunakan. Namun, lain halnya dengan bahasa tulis, terutama tulisan ilmiah. Bahasa yang disampaikan biasanya melalui proses penilaian terlebih dahulu. Setidaknya beberapa kali dibaca dan dikoreksi. Hal dimaksud agar terhindar dari kesalahan-kesalahan kecil maupun fatal. Pengoreksian yang biasa dilakukan sebelum tulisan tersebut terbit mencakupi kegiatan mengedit dan merevisi. Profesi yang melekat dengan pekerjaan pengoreksian tulisan disebut editor.
Mengedit merupakan kegiatan memperbaiki tulisan yang berupa salah tik, salah tata bahasa, ataupun salah dalam penyajian data dan fakta. Kegiatannya berupa pengoreksian ejaan, pungtuasi, kata, kalimat pada setiap paragraf, serta sistematika penulisan sesuai jenis tulisan (fiksi/nonfiksi).
Kegiatan selanjutnya adalah merevisi. Merevisi merupakan kegiatan mengubah atau memperbagus tulisan; baik menambahi,mengurangi, atau bahkan mengganti struktur ide tulisan. Jika mengedit berhubungan dengan mekanika tulisan, merevisi lebih menekankan kepada isi dan struktur tulisan.
Pada tulisan ini, saya fokus pada kekeliruan kecil yang acap kali ditemukan pada sebuah tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi. Hal tersebut adalah kekeliruan secara morfologis, yakni cara penulisan imbuhan (afiks) berbentuk awalan (prefiks) di-, ke-, dengan kata depan (preposisi) di dan ke. Aturannya, imbuhan ditulis serangkai (disatukan) dengan bentuk dasarnya. Hal sebaliknya terjadi pada penulisan kata --termasuk kata depan-- yang ditulis terpisah (lihat PUEBI).
Contoh:
1. Pengumuman itu di tulis diluar ruangan oleh panitia.
2. Tanpa sepengetahuan suaminya, dia pergi kesana.
3. "Aku berdiri diantara barisan ke satu dan ke dua," jawab Ahmad.
Seharusnya:
1. Pengumuman itu ditulis di luar ruangan oleh panitia.
2. Tanpa sepengetahuan suaminya, dia pergi ke sana.
3. "Aku berdiri di antara barisan kesatu dan kedua," jawab Ahmad.
Preposisi di berfungsi sebagai penanda tempat; preposisi ke sebagai penanda arah/tujuan. Sedangkan prefiks di- berfungsi sebagai pembentuk verba yang secara umum digunakan pada kalimat pasif; bermakna “dikenai suatu tindakan.
Pada umumnya afiks (imbuhan) membentuk satu kelas kata, prefiks di- salah satunya. Lain halnya dengan prefiks ke- yang berfungsi sebagai pembentuk lebih dari satu kelas kata. Pada kalimat di atas, prefiks ke- berfungsi sebagai pembentuk numeralia.
Galat yang terjadi perihal penulisan kata depan dan imbuhan ini memang tidak mengubah makna kalimat seperti kasus kesalahan penulisan kata misalnya. Namun, yang perlu kita pahami, setiap bahasa itu memiliki kaidah-kaidah yang mengatur penggunaannya (tata bahasa). Tak terkecuali bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia termasuk tipe bahasa aglutinatif yang identik dengan proses pengimbuhan dalam pembentukan katanya. Kesalahan penulisan tersebut kerap kita temukan sekalipun pada ragam bahasa tulis untuk tujuan penulisan ilmiah. Tentu, lain hal bila kita membahas ragam bahasa lisan yang tak terbebani kaidah penulisan, seperti ejaan dan pungtuasi. Hal tersebut tak lantas harus pula mengabaikan galat pada bahasa lisan.
Hal sepele jika memperhatikan kesalahan-kesalahan penulisan tadi. Sekali lagi, itu tidak mengubah makna kalimat. Akan tetapi, bahasa selain sebagai unsur budaya juga merupakan pembentuk budaya. Artinya, setiap kaidah bahasa lahir dari kesepakatan yang dilandasi keteraturan berpikir masyarakat bahasanya. Karena itu, ketelitian dalam berbahasa jadi salah satu ciri pola pikir masyarakat pemiliknya. ***
Penulis : Ruhiman, Guru Bahasa Indonesia di MTsN 2 Bandung Barat