Ramadan dan Budaya Literasi

Segala puji bagi Allah SWT, kita telah memasuki bulan Ramadan 1442 Hijriyah, bulan  suci, bulan yang penuh berkah, dan bulan  penuh ampunan. Bulan Ramadan yang sedang kita jalani ini, memberikan makna mengenai pentingnya umat Islam meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT (QS 2: 183). Hal ini tentu menjadi bahan renungan bagi kita agar tidak mensia-siakan perintah Allah SWT tersebut. Sebagai manusia yang diciptakan oleh-Nya, apalagi diciptakannya manusia memiliki tujuan yaitu untuk beribadah kepada-Nya (QS. 51: 56).

Pada tanggal 17 Ramadan, wahyu pertama surat Al-Alaq ayat 1-5 diturunkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw yang mengisyaratkan umat Islam harus dinamis meningkatkan budaya literasi. Literasi menjadi gerbang peningkatan kualitas diri dan sebuah bangsa. Melalui literasi, sebuah bangsa menjadi maju dan berbudaya.

 Literasi pada  Q.S al-‘Alaq ayat 1-5,  manusia diperintahkan serta mempunyai kewajiban untuk belajar dan mengajarkannya. Literasi tersebut secara terminologis diwakili oleh tiga istilah yakni iqra’, qalam, serta ‘allama yang menunjukkan makna membaca dan menulis dalam arti seluas-luasnya, serta bentuk dari pengajaran. Ketiga hal tersebut merupakan titik tolak dari pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan baik ilmu pengetahuan, kebudayaan maupun peradaban umat Islam.

Perintah membaca terdapat pada ayat pertama dan ketiga tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa objek dari perintah iqra’ bersifat global, mencakup penelaahan terhadap alam  raya, masyarakat, diri sendiri, serta semua bacaan yang tertulis dengan satu syarat bahwa semua itu harus dilakukan dengan atau demi nama Tuhan.

 Apabila istilah iqra’ dimaknai sebatas membaca teks tertulis maka hal itu kontradiktif dengan kenyataan bahwa Nabi saw. merupakan seorang yang ummi (tidak pandai membaca dan menulis),  juga malaikat Jibril pun pada saat itu tidak membaca teks tertulis.

Aktivitas membaca, menelaah, meneliti, mendalami, menghimpun memungkinkan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi. Pengetahuan yang diperoleh dari membaca dapat berupa berbagai ilmu pengetahuan baik pengetahuan umum (alam semesta dan isinya) manupun pengetahuan ilmu agama.

Hal ini menunjukkan bahwa obyek dari sebuah bacaan adalah mencakup segala yang dapat terjangkau, baik ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Dalam Surah Al-‘Alaq, kalimat iqra’ bismi Rabbik, tidak sekadar memerintahkan untuk membaca, akan tetapi “membaca” adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan “bacalah” demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, dan bekerjalah demi Tuhanmu. (Mustolehudin, 2011:148-149).

Perintah membaca, menelaah, meneliti, menghimpun, dan sebagainya dikatikan dengan “bi ismi robbika”, dengan nama Tuhanmu. Berkaitan hal tersebut merupakan syarat sehingga menuntut si pembaca bukan saja sekadar melakukan bacaan dengan ikhlas, tetapi juga dapat memilih bacaan yang tidak mengantarkannya kepada hal-hal yang bertentangan dengan “nama Allah” itu. dengan demikian Alquran menggarisbawahi pentingnya membaca dan keharusan adanya keikhlasan serta kepandaian  memilih bacaan-bacaan yang tepat. (Quraish Shibab, 2004:168).      

Selanjutnya aktivitas menulis pada Surat Al-‘Alaq ayat 1-5, Allah memberikan pengetahuan melalui perantara qalam. Ada dua isyarat yang dapat ditangkap untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu yaitu; 1) Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan 2) Mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya.

Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa Allah memberikan pengajaran (tarbiyah) melalui perantara qalam (pena) kepada manusia. Dalam hal ini untuk memperoleh pengetahuan dan informasi, manusia harus berusaha mencapai dengan pendidikan. Pendidikan dapat ditempuh melalui pendidikan formal dan pendidikan non formal. (Mustolehudin, 2011:149-150).

Kata ?????  (al-qalam) menurut Quraish Shihab (2006: 392-401). terambil dari kata kerja ??? (qalama) yang berarti memotong ujung sesuatu. Dalam konteks ayat ini, kata ??? (qalam) dimaknai dengan dua hal, yaitu alat untuk menulis dan hasil dari penggunanya yang berupa tulisan.

Kandungan Q.S. al-‘Alaq dan kaitannya dengan konsep literasi umum yakni dengan menulis merupakan suatu bentuk penjagaan seseorang terhadap apa yang telah diperolehnya dari membaca. Andaikata tidak ada qalam atau pena, maka manusia tidak akan dapat memahami berbagai ilmu pengetahuan, sehingga juga tidak akan ada proses transformasi ilmu pengetahuan dari manusia-manusia terdahulu, dan penemuan-penemuan mereka juga tidak akan bisa dibudayakan terhadap generasi-generasi sesudahnya. Dengan demikian, adanya qalam  maka dapatlah ditulisnya ilmu pengetahuan, peristiwa, dan sejarah orang-orang terdahulu, sehingga hasil dari tulisan tersebut dapat diriset dan dipelajari lebih jauh dari generasi ke generasi.

Terakhir yaitu pengajaran, tema besar pada Surah Al-‘Alaq ayat 1-5 adalah memberikan pengajaran/pembelajaran (membaca/menulis) kepada Nabi Muhammad Saw, pengajaran tentang Allah dalam sifat dan perbuatan-Nya, dan bahwa Allah SWT. adalah sumber  ilmu pengetahuan. Pengajaran atau pembelajaran yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. hendaknya dijadikan teladan bagi umatnya agar memiliki keterampilan membaca sehingga manusia (umat Islam) akan mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta membawa perubahan dan peradaban umat Islam. (Mustolehudin, 2011:152).

Oleh : Dadan Saepudin, M.Pd

Penulis Ketua I DPD PGM Indonesia Kabupaten Bandung Barat dan Guru di MTs Mathla’ul Anwar Sukaguna.