Imam Burhanuddin Shahibul Hidayah pernah bercerita bahwa ada seorang imam besar di Bochara, pada suatu ketika sedang asyiknya di tengah majelis belajar ia sering berdiri lalu duduk kembali. Setelah ditanya kenapa demikian, lalu jawabnya: ada seorang putra guruku yang sedang main-main di halaman rumah dengan teman-temannya, bila saya melihatnya sayapun berdiri demi menghormati guruku.
Cerita tersebut dikutip dalam terjemahan kitab Ta’lim Muta’allim sebuah karya yang penomenal dan terkenal di dunia pesantren. Karya tulis yang berisi panduan bagi para penuntut ilmu atau pembelajar. Cerita tersebut, bisa jadi hal yang tidak biasa bagi kita, namun ada pelajaran yang menarik terkait dengan perilaku yang dilakukan oleh seorang pencari ilmu yang menghargai gurunya.
Manusia sebagai mahkluk sosial tidak bisa berdiri sendiri, tentunya membutuhkan bantuan orang lain. Termasuk proses belajar, kita membutuhkan bimbingan dari orang lain. Ketika kecil kita diajarkan berbagai hal oleh orangtua, beranjak dewasa kita belajar di sekolah/madrasah, pesantren, dan lembaga pendidikan lainnya kita mengetahui dan memahami sesuatu hal merupakan bukti adanya jasa dari peran seorang guru.
Guru bagaikan sinar yang menerangi malam hari, mereka adalah sosok yang membangun generasi-generasi cerdas dan berakhlak mulia, sehingga hal tersebut memberikan makna bahwa guru memiliki posisi penting dalam membangun peradaban bahkan mendorong kemajuan suatu bangsa dan negara.
Memuliakan guru merupakan perbuatan terfuji bagi setiap pencari ilmu. Menurut Syekh Burhanuddin Ibrahim Az-Zarnuji Al-Hanafi jika setiap pencari ilmu ingin meraih keberkahan dari ilmu, maka salah satunya harus memuliakan ahli ilmu yaitu guru. Syekh Az-Zarnuji merupakan pengarang Kitab Ta’limul Muta’allim Thariq Al-Ta’allum, di kalangan dunia pondok pesantren, kitab tersebut menjadi kitab wajib yang harus dipelajari dan dipahami oleh setiap santri, karena isi dari kitab tersebut memberikan tuntunan kepada setiap pencari ilmu dalam belajar atau menuntut ilmu.
Di tengah dekadensi moral, tawuran antarpelajar, dan problema pendidikan lainnya menjadi penguat terhadap perlu adanya konsep yang implementatif terkait dengan tata tertib atau etika bagi seorang murid. Pandangan Syekh Az-Zarnuji bisa menjadi alternatif khususnya bagi pencari ilmu dan bagi umumnya para pengelola pendidikan.
Terkait dengan itu, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh para pencari ilmu dalam memuliakan guru yaitu:
Pertama, hendaknya setiap murid tidak berjalan di depan guru. Ketika guru sedang berjalan maka alangkah indahnya jika murid tidak mendahuluinya. Berjalan di belakangnya merupakan perbuatan terfuji yang dilakukan oleh murid sebagai bentuk menghormati guru.
Kita perlu belajar kepada khalifah ke-4, Ali Bin Abi Thalib yang tidak mendahului langkah seorang kakek tua. Cerita ini penulis kutip dalam laman muslimmedianews.com bahwa suatu hari Sayyidina Ali Bin Abi Thalib tergesa-gesa berjalan menuju masjid untuk melakukan shalat shubuh berjama’ah. Dalam perjalanan di depan beliau ada seorang kakek tua yang berjalan dengan tenang. Kemudian Sayyidina Ali memperlambat langkahnya dan tidak mendahului kakek tersebut karena memuliakan dan menghormati kakek tua tersebut. Hingga hampir mendekati waktu terbit matahari barulah beliau sampai dekat pintu masjid dan ternyata kakek tua tersebut berjalan terus tidak masuk ke masjid sehingga kemudian Sayyidina Ali akhirnya mengetahui bahwa kakek tua tersebut adalah seorang Nasrani.
Kedua, tidak duduk ditempat duduk guru. Seorang murid hendaknya tidak membiasakan diri duduk di tempat tempat duduk guru. Terkait dengan itu, saya masih ingat ketika masih belajar di MI setingkat SD saat itu tidak ada yang berani duduk di kursi yang biasa menjadi tempat duduk guru di kelas. Pengalaman penulis-juga ketika masih di pesantren, banyak menemukan para santri yang shalat berjama’ah, ketika salah seorang santri menjadi imam, ia tidak berani menempati sajadah yang biasa ditempati gurunya.
Ketiga, memulai mengajak bicara kecuali atas perkenan dari guru. Berdiskusi dengan guru merupakan hal yang baik, namun alangkah baiknya, jika seorang murid tidak berbicara kecuali mengawali pembicaraan atas perkenan guru. Hal itu mengisyaratkan etika akademik yang sangat baik yang harus dilakukan oleh para pencari ilmu ketika memulai kegiatan pembelajaran atau pembicaraan terkait dengan ilmu pengetahuan antara guru dengan murid-nya.
Keempat, tidak berbicara macam-macam dan tidak menanyakan hal-hal yang membosankan guru. Hal itu mengisyaratkan bahwa berbicara dengan guru sesuai dengan konten atau keahlian guru tersebut. Tidak berbicara di luar kemampuan guru atau hal-hal yang tidak diketahui oleh guru.
Kelima, sabar menunggu guru, sehingga ia sendiri yang keluar dari rumahnya. Dalam mencari ilmu harus diringi dengan kesabaran, termasuk ketika menunggu guru. Kesabaran sangat penting untuk dimiliki oleh para pencari ilmu karena sabar menjadi obat bagi para pencari ilmu dalam meraih ilmu. Sehingga ilmu yang diperolehnya menjadi bekal dalam meniti kehidupan yang lebih baik sebagaimana pepatah mengatakan “man shabaro dhaparo” barang siapa yang bersabar maka ia akan beruntung.
Berkaitan dengan kekuatan sabar, Tonny R. Djamir dalam bukunya “Warna Warna Kegelapan” (2000: 324) mengatakan bahwa dengan sabar manusia akan menjadi teguh, tabah, dan kuat menghadapi setiap kesusahan dan penderitaan. Cobaan di sini berbeda dengan ketetapan. Cobaan adalah bentuk keadaan yang membuat manusia menjadi susah dan menderita, seperti sakit, kehilangan sesuatu atau kecelakaan. Dengan kekuatan sabar, manusia tidak akan mudah tergelincir oleh bujuk rayu setan.
Keenam, salah satu perilaku menghargai guru menurut Syaikhul Imam Sadiduddin Asy-Syairaziy bahwa gurunya pernah berkata bagi siapa saja yang ingin putranya alim, hendaklah suka memelihara, memuliakan, mengagungkan, dan menghaturkan hadiah kepada kaum ahli agama (guru) yang tengah dalam pengembaraan ilmiahnya. Kalau pun ternyata bukan putranya yang alim, maka cucunyalah nanti yang akan menjadi alim.
Dengan demikian, dalam konteks sekarang pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memberikan gaji/tunjangan kepada para guru hal itu dapat dikategorikan sebagai bentuk memuliakan guru.
Demikian beberapa etika bagi para pencari ilmu yang digagas oleh Syekh Az-Zarnuji, semoga dapat mewarnai etika yang harus dilaksanakan oleh para pencari ilmu dan dapat diadobsi pada pendidikan formal sebagai sarana untuk memuliakan guru. Semoga.
Penulis Dadan Saepudin, M.Pd.
Ketua I DPD PGM Indonesia Kabupaten Bandung Barat.