Literasi, Literal, dan Literat

Pembelajaran dengan moda daring masa pandemi Covid -19 tak lepas dari peran teknologi. Ragam istilah bidang teknologi informatika kerap muncul dan lambat-laun melekat pada pemikiran siswa. Mesin peramban internet, google, saya kira menempati istilah paling populer di antara istilah-istilah lainnya. WhatsApp (WA), youtube, zoom, E-Learning adalah istilah lainnya yang kerap dijadikan media pembelajaran siswa.   

Fenomena ini tak lepas dari pengaruh teknologi yang makin kuat bagi kehidupan manusia. Teknologi tak lagi menjadi sebuah pilihan. Lebih dari itu merupakan sebuah kebutuhan. Pun menjadi media untuk dapat memperluas pengetahuan. Kita maklumi bahwa begitu banyak pilihan kebutuhan informasi yang bisa didapat dari internet, contohnya.

Literasi merupakan modal untuk dapat beradaftasi dengan era kini.  Literasi telah mengalami metamorfosis ke literasi digital. Literasi digital adalah sebuah alternatif pembelajaran selain yang berbentuk cetak (buku). Lewat literasi digital, siswa memiliki banyak pilihan materi/bahan pelajaran.

Pembelajaran moda daring bukan tanpa masalah. Permasalahan yang kerap muncul pada pembelajaran daring adalah pemahaman siswa terhadap materi ajar yang disajikan. Memang, perlu kiranya kajian yang lebih mendalam akan hal ini. Setidaknya, itulah kendala yang sering terjadi pada pembelajaran daring di madrasah kami.

Salah satu contoh sederhana. Beberapa siswa kesulitan untuk menerjemahkan maksud kalimat yang disajikan guru dalam mengembangkan materi ajar.  Namun, tak berarti bahwa setiap siswa mengalami hal tersebut. Bermacam faktor (internal/eksternal) pada diri siswa yang sangat mungkin mempengaruhi kenyataan ini.

Bila dikorelasikan antara kenyataan dan tuntutan kemajuan zaman, tampak ada ketimpangan. Lompatan kemajuan dalam mengakses, memahami, dan menggunakan informasi lewat media digital, bertolak belakang dengan kemampuan dasar yang belum begitu kuat tertanam pada diri siswa. Budaya baca/minat baca belum begitu menggembirakan di masyarakat kita. Istilah yang saat ini populer disebut literasi.

Idealnya, kenaikan kelas dibarengi dengan kemampuan pemahaman yang juga terus meningkat. Kemampuan itu terbentuk dari pola didik keluarga dan pendidikan dasar melalui kegiatan pembelajaran permulaan, yakni membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Kemampuan elementer yang tak bisa ditawar-tawar lagi wajib dimiliki setiap siswa lanjutan.

Literasi tak terlepas dari kemampuan berbahasa. Selain empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) yang terintegrasi pada pembelajaran,  kini diperlukan keterampilan lainnya sebagai dampak bahan ajar digital, yakni keterampilan mengakses teknologi.

Membaca sebagai pintu masuk untuk mengetahui, memahami bahkan menambah dan memperluas wawasan dan pengetahuan, terbentuk dari pembelajaran sesuai tingkat pendidikan. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V, lema membaca memiliki makna lebih dari satu.

1. v melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati): dia jangan diganggu, karena sedang ~ buku

2. v mengeja atau melafalkan apa yang tertulis

3. v mengucapkan: ~ doa; ~ mantra

4. v mengetahui; meramalkan: ia dapat ~ suratan tangan (garis-garis pada telapak tangan)

5. v memperhitungkan; memahami: seorang pemain yang baik harus pandai ~ permainan lawan

Bila diklasifikasikan makna tersebut, tersirat tingkatan keterampilan membaca.

Pertama, membaca sebagai sebuah kegiatan mengucapkan bunyi bahasa tertentu. Ini merupakan kegiatan membaca dasar tanpa pemahaman yang lebih jauh menyangkut makna yang terkandung dalam kata-kata yang terucapkan. Kegiatan macam ini biasa dilakukan oleh para pembaca dini dan pembaca awal, yakni siswa kelas 1 – 3 SD/MI. Pada tahap ini, pembaca dituntut belajar memahami arti kata paling dasar (literal)

Kedua,  membaca sebagai sebuah proses melihat, mengetahui, memahami, memperhitungkan, dan meramalkan. Tampak ada perbedaan kualitas proses dibanding kegiatan pertama. Aktivitas yang terlibat tak hanya visual, tetapi juga mental. Idealnya, kegiatan membaca ini dilakukan oleh pembaca lancar, pembaca lanjut, dan pembaca kritis.

Kembali saya tegaskan, bahwa perjenjangan pembaca disesuaikan dengan tingkat/kelas pendidikan: (1) pembaca dini yakni siswa kelas 1; (2) pembaca awal yakni siswa kelas 2 – 3; (3) pembaca lancar yakni siswa kelas 4 – 6; (4) pembaca lanjut yakni siswa kelas 7 – 12; dan (5) pembaca kritis yakni mahasiswa dan masyarakat literat lainnya. Perjenjangan pembaca tersebut selanjutnya akan berimplikasi terhadap buku yang menjadi referensi pembelajaran (buku teks).

Upaya pemerintah untuk meningkatkan minat baca/budaya baca masyarakat melalui Gerakan Literasi Sekolah, Gerakan Literasi Masyarakat, Gerakan Literasi Keluarga, tampaknya belum begitu menggembirakan. Hal ini terbukti dari hasil survey beberapa lembaga internasional yang menempatkan Indonesia pada posisi hampir akhir dari sejumlah negara yang disurvey berkenaan keliteratan. Sisi kecilnya, tak sedikit siswa yang tingkat pemahaman membacanya masih rendah pada tingkat sekolah lanjutan. Mengapa demikian?

Apakah ini pengaruh kurikulum pendidikan dasar yang terlalu tinggi kompetensi yang harus dicapai siswa? Ataukah muatan mata pelajaran yang begitu banyak? Kualitas gurunya? Pengelolaan pendidikannya? Pertanyaan-pertanyaan yang saya rasa sudah lama mengendap. Perlu direspons dengan pengkajian secara holistis dan serius.

Tugas, tugas, dan tugas. Kata itu melekat erat pada benak siswa berkaitan pembelajaran jarak jauh moda daring. Keterasingan yang siswa rasakan plus pemahaman bahasa yang rendah, secara otomatis memunculkan perasaan jenuh. Siswa kita –dan mungkin guru, terlalu sedikit dan belum terbiasa meluangkan waktu yang lebih banyak untuk membaca. Itu salah satu penyebabnya. 

Kembali pada permasalahan kemampuan membaca siswa. Membiasakan membaca bagi setiap siswa bukan perkara mudah tanpa ada program terpadu antara berbagai pihak. Keluarga menjadi dasar pembiasaan dalam membaca. Dan, saya kira peran keluarga dalam hal ini masih perlu diinsyafkan lagi. Keteladanan dari orang tua dalam membiasakan membaca jadi dasar penguatan karakter dalam mengembangkan potensi berpikir anak.  

Pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI), penguatan pembelajaran membaca, –juga menulis, saya kira perlu diintensifkan sebelum siswa dicekoki dengan materi yang lebih tinggi. Hal ini penting, karena bahasa adalah penghela pengetahuan pada semua mata pelajaran. Pengabaian terhadap hal itu tentu akan berpengaruh terhadap pelajaran lainnya.

Bukan hal aneh bila kini masih ada siswa kelas 6 yang semestinya sudah lancar membaca, tetapi justru masih kesulitan membaca. Ironisnya, pada tingkat lanjutan mereka bukan semakin baik kemampuan membacanya. Pada akhirnya, tekanan mental yang akan timbul pada diri anak tersebut. Belajar bukan lagi menjadi hal yang menyenangkan, sebaliknya menjadi sebuah beban yang harus dihindari. Tak semestinya hal ini terjadi.

Upaya peningkatan minat baca dan kecintaan terhadap pembelajaran harus diupayakan terus-menerus melalui pendidikan tingkat dasar juga keluarga. Keterpaduan program pembelajaran literasi dan penguatan karakter adalah pasti. Keduanya tak dapat dipisahkan karena saling menguatkan sebagai sebuah proses.

Sangat disesalkan bila tersedianya pelbagai ilmu, pengetahuan, dan hal lainnya dari kemajuan teknologi ini tak disertai kemampuan membaca dan pemahaman yang baik dari siswa kita. Karena, literasi digital itu fondasinya adalah literasi dasar. Sejatinya, ilmu pengetahuan adalah kunci yang akan mampu menguasai peradaban. Dan, kemampuan itu hanya dimiliki oleh bangsa yang literat.***

 

Kontributor :  RUHIMAN, Guru di MTsN  2 Bandung Barat